Daam kehidupan manusia, terdapat hukum sebab-akibat yang tidak selalu tampak secara kasatmata, tetapi nyata dalam pengaruhnya terhadap kehidupan. Salah satunya adalah prinsip bahwa harta tidak akan berkurang karena berinfaq, melainkan justru bertambah. Ini bukan sekadar ajaran moral atau ajakan untuk berbagi, tetapi sebuah sunnatullah yang telah ditegaskan dalam Al-Qur’an dan hadis. Islam mengajarkan bahwa harta yang diberikan kepada orang lain tidaklah hilang, tetapi berpindah dalam bentuk keberkahan, ketenangan jiwa, serta rezeki yang semakin berlimpah.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an, “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 261). Ayat ini menegaskan bahwa infaq tidak hanya memberikan manfaat kepada penerima, tetapi juga mengundang keberkahan bagi pemberi, melipatgandakan rezeki dengan cara yang tidak terduga.
Keutamaan Infaq dan Pandangan Para Ulama
Dalam khazanah Islam, infaq merupakan amalan yang sangat dianjurkan, tidak hanya dalam konteks sosial tetapi juga dalam hubungan vertikal antara manusia dengan Allah. Rasulullah ﷺ bersabda, “Sedekah tidak akan mengurangi harta” (HR. Muslim). Hadis ini menunjukkan bahwa meskipun secara matematis jumlah harta berkurang ketika diberikan kepada orang lain, secara spiritual dan keberkahan, harta itu justru bertambah.
Banyak ulama menafsirkan bahwa pertambahan ini dapat berupa kelancaran rezeki, perlindungan dari kesulitan ekonomi, atau bahkan ketenangan hati yang tidak ternilai. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa sedekah dapat membuka pintu-pintu rezeki yang sebelumnya tertutup. Ia menekankan bahwa orang yang rajin berinfaq akan merasakan keajaiban dalam keuangannya, baik secara langsung maupun dalam bentuk lain seperti kesehatan, kebahagiaan, dan ketentraman keluarga.
Ibnu Taimiyah juga berpendapat bahwa harta yang diinfaqkan adalah investasi jangka panjang, baik di dunia maupun di akhirat. Menurutnya, orang yang kikir justru sering mengalami kesulitan keuangan yang tidak ia sadari, karena ia menghalangi dirinya sendiri dari aliran keberkahan yang seharusnya ia terima melalui infaq dan sedekah.
Kisah Nyata Keberkahan Infaq
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak kisah yang menggambarkan bagaimana infaq dapat melipatgandakan rezeki seseorang. Salah satu kisah terkenal adalah tentang seorang pedagang di Timur Tengah yang dikenal dengan kedermawanannya. Ia selalu menyisihkan sebagian keuntungan bisnisnya untuk membantu fakir miskin, membangun sumur di daerah yang kekurangan air, dan menyantuni anak yatim. Suatu hari, ia mengalami kebangkrutan karena sebuah musibah besar. Namun, dalam waktu yang tidak lama, bisnisnya kembali pulih bahkan lebih sukses dari sebelumnya.
Ketika ditanya bagaimana ia bisa bangkit kembali, ia hanya menjawab, “Aku tidak pernah takut kehilangan harta karena aku tahu bahwa setiap rupiah yang aku infaqkan tidak pernah benar-benar hilang. Allah menggantinya dengan cara yang tidak pernah kuduga.” Kisah ini menjadi bukti nyata bahwa hukum sebab-akibat dalam Islam bukanlah sekadar konsep teoretis, tetapi sesuatu yang dapat dirasakan oleh siapa saja yang menerapkannya dengan ikhlas.
Banyak pengusaha Muslim besar di dunia juga mempraktikkan konsep ini dalam bisnis mereka. Mereka meyakini bahwa dengan berbagi, rezeki mereka justru semakin luas. Dari perusahaan kecil hingga konglomerasi besar, prinsip infaq telah menjadi bagian dari filosofi bisnis yang mengutamakan keberkahan di atas keuntungan semata.
Mengatasi Ketakutan Berinfaq dan Meraih Keberkahan
Salah satu hambatan terbesar dalam berinfaq adalah rasa takut kehilangan harta. Banyak orang berpikir bahwa memberi berarti mengurangi, padahal dalam Islam, memberi adalah kunci untuk menerima lebih banyak. Ketakutan ini berasal dari perspektif duniawi yang mengukur segala sesuatu dengan angka, bukan dengan keyakinan kepada Allah.
Islam mengajarkan bahwa ada dimensi spiritual dalam ekonomi yang sering kali diabaikan. Ketika seseorang memberi dengan ikhlas, ia sedang membuka pintu rezeki baru yang sebelumnya tertutup. Orang yang berinfaq dengan tulus akan merasakan ketenangan jiwa, merasa cukup dengan apa yang ia miliki, dan terhindar dari kecemasan finansial yang sering menghantui orang yang hanya fokus pada akumulasi kekayaan.
Berinfaq juga merupakan bentuk syukur atas nikmat yang telah diberikan Allah. Dalam Al-Qur’an, Allah berjanji bahwa siapa yang bersyukur akan ditambahkan nikmatnya (QS. Ibrahim: 7). Maka, dengan menjadikan infaq sebagai kebiasaan, seseorang tidak hanya mengamalkan perintah agama, tetapi juga membangun siklus keberlimpahan dalam hidupnya.
Pada akhirnya, hukum sebab-akibat dalam infaq adalah sesuatu yang nyata. Harta yang diberikan di jalan Allah tidak akan hilang, tetapi kembali dengan bentuk yang lebih besar. Keyakinan inilah yang membedakan mereka yang melihat harta sebagai alat untuk mencari keberkahan dengan mereka yang melihatnya sebagai tujuan akhir. Dengan memahami prinsip ini, kita tidak hanya menjadi pribadi yang dermawan tetapi juga membuka jalan menuju kehidupan yang lebih berkah dan penuh makna.