Perbandingan Gaji Tahunan: Antara Indonesia, Singapura, Jepang, Malaysia, dan Arab Saudi

bintangbisnis

(22 Juli 2025)  — Di tengah trend ekonomi yang masih labil pasca-pandemi, banyak warga Indonesia mulai menaruh perhatian pada satu hal krusial: seberapa besar sebenarnya pendapatan mereka jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga maupun negara maju lainnya. Sebuah perbandingan menarik muncul ketika data pendapatan tahunan per individu dari Indonesia disandingkan dengan Singapura, Malaysia, Jepang, dan Arab Saudi. Hasilnya, tak pelak membuat banyak pihak merenung dan menuntut adanya lompatan strategis di bidang produktivitas dan kesejahteraan.

Menurut data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Keuangan, rata-rata pendapatan per kapita penduduk Indonesia di akhir 2024 berada di kisaran Rp70 juta per tahun atau sekitar Rp5,8 juta per bulan. Angka ini sudah mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya, tetapi jika dibandingkan dengan negara tetangga, Indonesia masih tertinggal jauh.

Sebagai contoh, di Singapura, menurut data dari SingStat dan World Bank, pendapatan per kapita tahun 2024 diperkirakan mencapai US$88.000 per tahun. Jika dikonversi ke dalam rupiah (dengan kurs Rp16.000 per USD), maka angkanya sekitar Rp1,4 miliar per tahun, atau lebih dari Rp116 juta per bulan. Perbedaan ini begitu mencolok, bahkan lebih dari 20 kali lipat dibanding Indonesia.

Sementara itu di Jepang, negara maju dengan standar hidup tinggi, rata-rata gaji tahunan per individu pada 2024 mencapai US$41.500 atau sekitar Rp664 juta per tahun, setara dengan Rp55 juta per bulan. Jepang juga dikenal memiliki sistem kesejahteraan dan jaminan sosial yang kuat yang membuat masyarakatnya relatif lebih sejahtera meskipun biaya hidup tinggi.

Malaysia, yang secara geografis dan kultural lebih dekat dengan Indonesia, memiliki pendapatan per kapita yang juga jauh di atas Indonesia. Menurut Departemen Statistik Malaysia, pendapatan rata-rata tahunan per individu Malaysia pada 2024 mencapai sekitar US$12.500 atau sekitar Rp200 juta per tahun, alias Rp16,6 juta per bulan.

Arab Saudi pun menunjukkan angka yang signifikan. Berdasarkan data dari General Authority for Statistics Saudi Arabia dan IMF, rata-rata pendapatan per individu pada 2024 diperkirakan mencapai US$30.400, atau sekitar Rp486 juta per tahun, setara dengan Rp40 juta per bulan. Hal ini tak lepas dari kekuatan ekonomi berbasis migas dan diversifikasi yang tengah digencarkan.

Melihat kesenjangan yang sangat besar ini, banyak ekonom Indonesia mulai mempertanyakan arah kebijakan ekonomi nasional. Mengapa Indonesia yang memiliki sumber daya alam melimpah, populasi besar, dan ekonomi digital yang berkembang, justru tidak mampu meningkatkan pendapatan rakyatnya secara signifikan?

Salah satu jawabannya mungkin terletak pada struktur ekonomi yang masih didominasi oleh sektor informal dan padat karya berupah rendah. Sektor seperti pertanian, perdagangan mikro, serta industri rumahan masih menjadi tulang punggung ekonomi di banyak wilayah Indonesia, sementara produktivitasnya cenderung stagnan.

Kondisi pendidikan dan keterampilan tenaga kerja juga ikut berperan. Negara seperti Singapura dan Jepang telah berinvestasi besar-besaran dalam pengembangan SDM, sementara Indonesia masih menghadapi tantangan kualitas pendidikan, rendahnya kompetensi digital, dan kesenjangan akses antarwilayah.

Selain itu, masalah upah minimum yang sangat bervariasi antar daerah di Indonesia juga memperkuat kesenjangan internal. Di DKI Jakarta, misalnya, UMP 2024 ditetapkan sebesar Rp5 juta per bulan, namun di banyak daerah lain masih berkisar antara Rp2,1–Rp3 juta per bulan, membuat rata-rata nasional tertahan di level bawah.

Pemerintah memang telah menargetkan Indonesia masuk ke dalam kelompok negara berpendapatan menengah atas dan bahkan negara maju pada tahun 2045. Namun, dengan pertumbuhan rata-rata pendapatan hanya sekitar 5-7% per tahun, jalan menuju ke sana masih panjang.

Bandingkan ini dengan Singapura yang meski kecil, mampu mencetak GDP per kapita tertinggi di Asia Tenggara. Kunci mereka? Produktivitas tenaga kerja yang tinggi, inovasi, dan efisiensi sistem birokrasi serta insentif fiskal yang menarik bagi investor global.

Di sisi lain, Jepang yang telah mengalami stagnasi ekonomi bertahun-tahun masih mampu menjaga tingkat pendapatan yang tinggi berkat kekuatan industrinya, teknologi, dan daya saing global dari merek-merek besar seperti Toyota, Sony, dan Panasonic.

Arab Saudi yang tengah bertransformasi lewat Visi 2030 berhasil mendorong pendapatan warganya dengan memanfaatkan momentum investasi asing dan restrukturisasi sektor-sektor ekonomi non-migas, seperti pariwisata, keuangan, dan hiburan.

Malaysia pun terus menarik investasi asing dan memperkuat basis manufakturnya, serta menjadi pusat pendidikan dan kesehatan regional, yang mendongkrak permintaan tenaga kerja berkualitas dan menaikkan rata-rata gaji nasional.

Dari sini kita bisa melihat bahwa pendapatan per kapita bukan hanya soal keberuntungan geografis, tapi buah dari kebijakan ekonomi yang terarah, pengembangan SDM, dan sistem insentif yang mendukung produktivitas. Indonesia perlu melakukan lompatan besar jika ingin menyusul ketertinggalan ini. Masyarakat kini menuntut agar peningkatan ekonomi tidak hanya terlihat dari data makro semata, tetapi juga dirasakan langsung dalam bentuk gaji layak, jaminan sosial yang baik, dan peluang kerja yang bermutu. Tanpa itu, mimpi menjadi negara maju hanyalah retorika.

 

Share This Article