Di tengah-tengah dinamika ekonomi global, muncul istilah yang mencerminkan kondisi finansial masyarakat modern, yaitu “Era Kelas Menengah Makan Tabungan.” Istilah ini mencuat di berbagai forum diskusi ekonomi, artikel, dan media sosial, mengungkap fenomena nyata di mana lapisan masyarakat yang tergolong kelas menengah, baik di negara berkembang maupun maju, semakin sulit mempertahankan gaya hidup yang layak tanpa harus mengorbankan tabungan pribadi. Fenomena ini mencerminkan krisis ekonomi berkepanjangan yang telah menggerus kestabilan ekonomi rumah tangga pasca pandemi COVID-19, di mana kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan atau pendapatan yang memadai memaksa mereka untuk bergantung pada tabungan hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok. Fenomena ini juga sedang menggejala di Indonesia.
Fenomena Krisis Ekonomi yang Berkepanjangan
Krisis ekonomi bukanlah hal baru dalam siklus ekonomi global. Namun, apa yang terjadi setelah pandemi COVID-19 memperlihatkan tantangan yang lebih kompleks dan mendalam bagi kelas menengah. Pandemi yang berlangsung selama lebih dari dua tahun memaksa sebagian besar negara untuk menghentikan aktivitas ekonomi, yang berdampak langsung pada meningkatnya angka pengangguran, penurunan daya beli masyarakat, serta kolapsnya berbagai sektor usaha, terutama di industri kecil dan menengah.
Setelah pandemi mereda, banyak negara berupaya memulihkan ekonomi melalui berbagai kebijakan dan stimulus fiskal. Namun, kondisi ekonomi global belum sepenuhnya pulih. Pemulihan yang diharapkan berjalan cepat, nyatanya bergerak lambat. Keterbatasan investasi, rendahnya tingkat konsumsi, dan inflasi yang melonjak membuat banyak negara terjebak dalam kondisi stagnasi ekonomi, termasuk Indonesia.
Bagi kelas menengah, yang sebelumnya dikenal sebagai motor penggerak ekonomi dengan pola konsumsi dan gaya hidup yang cukup mapan, kondisi ini memunculkan tantangan baru. Pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan tetap atau usaha yang mereka jalankan tidak lagi mampu menutupi kebutuhan hidup yang semakin meningkat. Di sisi lain, upaya mencari pekerjaan baru atau sumber penghasilan tambahan juga menjadi semakin sulit. Akibatnya, mereka terpaksa menggunakan tabungan yang seharusnya dipersiapkan untuk keperluan jangka panjang, seperti pendidikan anak, membeli rumah, atau pensiun.
Pengangguran dan Kesulitan Mencari Pekerjaan
Salah satu dampak paling terasa dari krisis ekonomi berkepanjangan adalah meningkatnya angka pengangguran. Meskipun beberapa negara sudah mulai bangkit dari dampak pandemi, banyak perusahaan yang belum sepenuhnya pulih. Di Indonesia, banyak sektor usaha, terutama di bidang pariwisata, perhotelan, dan restoran, mengalami pukulan berat akibat pembatasan mobilitas selama pandemi. Akibatnya, banyak perusahaan terpaksa mengurangi jumlah karyawan mereka atau bahkan gulung tikar.
Pasca pandemi, penciptaan lapangan kerja baru menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah. Banyak program pemulihan ekonomi yang diluncurkan, namun hasilnya masih jauh dari harapan. Lapangan kerja yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah tenaga kerja yang membutuhkan pekerjaan. Dalam situasi ini, kelas menengah yang mungkin sebelumnya memiliki pekerjaan mapan, kini dihadapkan pada kenyataan pahit: pekerjaan sulit didapatkan, sementara biaya hidup terus meningkat.
Selain itu, bagi mereka yang masih bekerja, kenaikan gaji tidak sejalan dengan inflasi. Kenaikan harga barang dan jasa pokok, seperti makanan, bahan bakar, dan biaya pendidikan, membuat pendapatan yang diterima semakin tidak cukup untuk menutup kebutuhan sehari-hari. Ketidakpastian ekonomi ini membuat banyak orang merasa was-was terhadap masa depan finansial mereka.
Stagnasi Ekonomi dan Ketidakmampuan Memenuhi Kebutuhan
Era pasca COVID-19 juga memperlihatkan bagaimana stagnasi ekonomi memperburuk kondisi kelas menengah. Stagnasi ini terjadi karena ekonomi tidak tumbuh pada tingkat yang dibutuhkan untuk menciptakan lapangan kerja baru atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Konsumsi domestik yang merupakan pilar penting dalam perekonomian kelas menengah juga mengalami penurunan drastis.
Sementara itu, inflasi terus merayap naik. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di banyak negara lain. Inflasi menyebabkan daya beli masyarakat menurun, sementara harga kebutuhan pokok terus meningkat. Kelas menengah, yang sebelumnya mampu menyisihkan sebagian dari pendapatan mereka untuk ditabung atau diinvestasikan, kini harus menggunakan uang tabungan tersebut untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Tabungan yang seharusnya menjadi jaring pengaman finansial di masa depan, kini habis digunakan untuk bertahan hidup di tengah situasi ekonomi yang sulit.
Ketidakefektifan Kebijakan Pemerintah dalam Penciptaan Lapangan Kerja
Kebijakan pemerintah untuk mengatasi krisis ekonomi pasca pandemi telah banyak diluncurkan, mulai dari program bantuan sosial hingga stimulus ekonomi. Namun, sayangnya, banyak kalangan menilai bahwa kebijakan-kebijakan tersebut belum mampu secara efektif menciptakan lapangan kerja yang cukup bagi masyarakat. Program-program pemulihan ekonomi sering kali hanya menyentuh masalah-masalah permukaan, tanpa benar-benar menyelesaikan akar permasalahan.
Program Kartu Prakerja, misalnya, meskipun dirancang untuk membantu mereka yang kehilangan pekerjaan atau ingin meningkatkan keterampilan, masih belum cukup untuk menyerap seluruh tenaga kerja yang menganggur. Program ini juga sering kali tidak tepat sasaran, di mana banyak peserta yang sebenarnya sudah memiliki pekerjaan tetapi tetap menerima bantuan.
Selain itu, kebijakan stimulus yang diberikan kepada sektor swasta juga belum mampu sepenuhnya mendorong perusahaan untuk membuka lapangan kerja baru. Banyak perusahaan yang masih berhati-hati dalam melakukan ekspansi atau perekrutan karena ketidakpastian ekonomi yang terus berlanjut. Di sisi lain, investasi asing yang diharapkan mampu membantu memulihkan perekonomian juga belum masuk secara signifikan, karena masih ada kekhawatiran mengenai stabilitas politik dan ekonomi di beberapa negara, termasuk Indonesia.
Tabungan yang Terkikis dan Masa Depan yang Tidak Pasti
Fenomena “kelas menengah makan tabungan” bukan hanya sebuah istilah, tetapi sebuah realitas pahit yang dihadapi oleh jutaan orang di seluruh dunia. Dalam kondisi ekonomi yang stagnan dan penuh ketidakpastian, banyak orang yang dulunya mampu hidup nyaman dengan penghasilan bulanan, kini dipaksa untuk mengambil tabungan mereka hanya untuk membeli makanan, membayar tagihan, atau memenuhi kebutuhan pokok lainnya.
Kelas menengah yang dulunya dianggap sebagai pilar kestabilan ekonomi kini berada dalam posisi yang sangat rentan. Jika krisis ini terus berlanjut tanpa adanya solusi yang nyata, bukan tidak mungkin kita akan melihat gelombang kemiskinan baru di kalangan kelas menengah. Mereka yang sebelumnya merasa aman secara finansial kini harus menghadapi kenyataan bahwa masa depan mereka mungkin tidak secerah yang dibayangkan.
Kebutuhan akan Reformasi Ekonomi yang Lebih Inklusif
Untuk keluar dari era kelas menengah makan tabungan, dibutuhkan reformasi ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Pemerintah harus fokus pada penciptaan lapangan kerja yang berkualitas, dengan memberikan insentif kepada sektor swasta untuk berinvestasi dan memperluas usaha mereka. Selain itu, pendidikan dan pelatihan vokasi juga harus diperkuat agar masyarakat memiliki keterampilan yang relevan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja saat ini.
Di samping itu, kebijakan fiskal yang lebih tepat sasaran juga diperlukan untuk mengurangi beban inflasi pada masyarakat kelas menengah. Pengendalian harga bahan pokok, subsidi bagi sektor-sektor strategis, serta perlindungan sosial yang lebih baik dapat membantu menjaga daya beli masyarakat. Hanya dengan langkah-langkah yang komprehensif dan berkelanjutan, kelas menengah dapat kembali stabil secara finansial dan berhenti menggerus tabungan mereka hanya untuk bertahan hidup.
Tantangan Kelas Menengah dalam Menghadapi Krisis Ekonomi
“Era Kelas Menengah Makan Tabungan” mencerminkan tantangan besar yang dihadapi masyarakat kelas menengah dalam krisis ekonomi berkepanjangan pasca pandemi COVID-19. Ketidakmampuan mencukupi kebutuhan hidup dengan pendapatan yang ada, stagnasi ekonomi, inflasi yang terus meningkat, serta ketidakefektifan kebijakan pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja, semuanya berkontribusi pada kondisi ini.
Krisis ini tidak hanya mengancam kestabilan ekonomi rumah tangga kelas menengah, tetapi juga masa depan ekonomi nasional. Tanpa adanya upaya yang nyata dan menyeluruh dari pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat itu sendiri, kelas menengah akan terus berada dalam situasi yang sulit dan terancam kehilangan stabilitas finansial yang selama ini mereka nikmati.