Pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya. Suara tangisan anaknya yang paling kecil terdengar samar dari ruang makan, tempat Hariman duduk terpaku. Di depannya, secangkir kopi sudah lama mendingin. Ia baru saja menerima kabar yang menjadi mimpi buruk bagi keluarganya. Pabrik tekstil tempatnya bekerja selama dua dekade di Karawang mengumumkan penutupan operasional. Alasannya klasik namun menyakitkan: tidak mampu bersaing dengan produk dari Tiongkok dan Vietnam yang lebih murah dan lebih cepat memenuhi pasar.
Hariman adalah satu dari ribuan pekerja yang terkena dampak penutupan tersebut. Kini, ia bergabung dalam barisan panjang para korban deindustrialisasi di Indonesia, sebuah tren yang menggerogoti tulang punggung ekonomi negeri ini. Dengan cicilan rumah yang tertunggak, biaya sekolah anak yang terus naik, dan harga kebutuhan pokok yang tak pernah bersahabat, masa depan terasa semakin gelap.
Tren Deindustrialisasi di Indonesia
Deindustrialisasi, fenomena di mana kontribusi sektor manufaktur terhadap ekonomi menurun, bukan lagi sekadar teori bagi Indonesia. Data menunjukkan bahwa kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB Indonesia telah merosot dari 28% pada tahun 2000 menjadi hanya sekitar 19% pada 2021. Lebih dari itu, laporan Bank Dunia pada 2022 mengindikasikan bahwa Indonesia mengalami penurunan daya saing global dalam sektor manufaktur, kalah dengan negara-negara seperti Vietnam yang menarik investasi besar di bidang elektronik dan tekstil.
Banyak pabrik di Indonesia menghadapi tekanan berat akibat kombinasi kebijakan yang kurang mendukung, biaya logistik yang tinggi, dan ketidakmampuan bersaing dengan harga produk impor. Dari tekstil hingga elektronik, sektor manufaktur nasional kehilangan daya saingnya, berdampak pada penutupan ribuan pabrik dan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Menurut data Kementerian Perindustrian, setidaknya 5.000 pabrik kecil hingga menengah tutup antara 2015 hingga 2021, dengan total PHK mencapai lebih dari 1 juta pekerja.
Tumbuhnya Kompetitor: Tiongkok dan Vietnam
Sementara Indonesia terus bergulat dengan deindustrialisasi, Tiongkok dan Vietnam mencatatkan pertumbuhan pesat dalam sektor manufaktur. Tiongkok dikenal dengan kemampuan produksinya yang masif dan efisiensi biaya, sedangkan Vietnam berhasil menarik investasi asing berkat kebijakan pro-bisnis dan tenaga kerja yang relatif murah.
Sebagai contoh, eksportir elektronik besar seperti Samsung dan LG memilih Vietnam sebagai basis produksi utama mereka di Asia Tenggara. Sementara itu, tekstil dari Tiongkok dan Vietnam kini mendominasi pasar global, menggantikan posisi Indonesia yang dulunya kuat di sektor ini.
Dampak Sosial Ekonomi
Tren deindustrialisasi membawa konsekuensi yang jauh melampaui angka-angka statistik. Penutupan pabrik memicu gelombang pengangguran, yang pada gilirannya memperbesar angka kemiskinan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa tingkat pengangguran terbuka meningkat dari 5,28% pada Februari 2019 menjadi 6,49% pada Agustus 2020, sebagian besar akibat penutupan pabrik.
Di sisi lain, pekerja yang kehilangan pekerjaan seringkali tidak memiliki keterampilan lain untuk beradaptasi dengan industri baru, sehingga mempersulit mereka untuk kembali ke pasar kerja. Situasi ini menciptakan lingkaran kemiskinan yang sulit diputus.
Harapan di Tangan Kepemimpinan
Dalam menghadapi tren ini, Indonesia membutuhkan langkah serius dan strategi yang terencana untuk menghidupkan kembali sektor manufaktur. Di sinilah peran Prabowo Subianto sebagai presiden baru sungguh sangat ditunggu. Dengan orasi-orasinya saat kampanye yang ingin membangun kembali kekuatan ekonomi nasional, ia sungguh ditunggu untuk membuat program-program nyata guna mengatasi deindustrialisasi — melalui kebijakan yang berani dan inovatif yang dinantikan.
Langkah-langkah strategis yang dapat diambil termasuk memperbaiki infrastruktur logistik untuk menurunkan biaya produksi, memberikan insentif kepada investor asing untuk mendirikan pabrik di Indonesia, serta melindungi industri lokal melalui kebijakan tarif yang bijak. Selain itu, pelatihan ulang tenaga kerja menjadi hal yang krusial untuk memastikan para pekerja memiliki keterampilan yang relevan dengan kebutuhan industri saat ini.
Membangun Masa Depan
Kisah Hariman adalah satu dari banyak cerita sedih akibat deindustrialisasi, tetapi tidak harus menjadi akhir. Dengan kebijakan yang tepat dan kepemimpinan yang tegas, Indonesia memiliki potensi besar untuk menghidupkan kembali sektor manufakturnya.
Prabowo Subianto, jika benar-benar serius, harus melihat tren deindustrialisasi sebagai tantangan terbesar yang membutuhkan perhatian segera. Pemulihan manufaktur bukan hanya soal angka ekonomi, melainkan juga soal mengembalikan harapan bagi jutaan keluarga Indonesia yang hidupnya bergantung pada industri.
Di tengah tekanan global, Indonesia membutuhkan strategi untuk menjadi kompetitif kembali. Jika hal ini dapat dicapai, maka suatu hari nanti, Hariman dan ribuan pekerja lain yang saat ini kehilangan pekerjaan mungkin dapat kembali tersenyum, bangga menjadi bagian dari kebangkitan industri di tanah air.