Sulit membayangkan gagasan yang lebih ambisius dari Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) , Sovereign Wealth Fund (SWF) yang digadang-gadang menjadi mesin penggerak investasi masa depan Indonesia. Didirikan dengan tujuan mulia—menggoda modal asing, mengoptimalkan aset negara, dan membangun infrastruktur yang selama ini kerap tersendat oleh birokrasi dan dana terbatas—Danantara muncul sebagai jawaban atas impian besar pemerintah: menjadikan Indonesia sebagai kekuatan ekonomi baru yang lebih mandiri dan progresif.
Namun, seperti kebanyakan proyek ambisius yang digulirkan dengan gegap gempita, Danantara juga tak luput dari sorotan kritis. Ada yang memuji sebagai langkah berani untuk mempercepat pertumbuhan, tetapi tidak sedikit pula yang mempertanyakan fondasi serta siapa yang diberi kepercayaan untuk menjalankannya. Dalam keseimbangan antara pujian dan kecaman inilah, nasib Danantara sedang diuji.
Di atas kertas, SWF seperti Danantara adalah instrumen keuangan yang bisa menguntungkan negara. Norwegia, misalnya, telah menunjukkan bagaimana SWF mereka menjadi salah satu yang paling sukses di dunia, mengelola dana ratusan miliar dolar untuk kesejahteraan jangka panjang rakyatnya. Singapura dengan Temasek dan GIC juga telah membuktikan bahwa pengelolaan aset negara yang cermat bisa memberikan hasil luar biasa, menghasilkan keuntungan berlipat dari investasi strategis mereka.
Danantara diharapkan bisa mengikuti jejak sukses itu. Dengan janji mendatangkan investasi dari mitra global serta mengelola aset-aset strategis dengan lebih efisien, kehadiran Danantara menjadi simbol harapan baru. Modal awal yang digelontorkan, baik dari negara maupun investor asing, menjadi bahan bakar awal untuk menggerakkan mesin investasi ini.
Tetapi, teori yang baik bukanlah jaminan kesuksesan. Eksekusi dan tata kelola adalah ujian sebenarnya.
Kritik dari Berbagai Arah
Kritik terbesar terhadap Danantara terletak pada aspek pengelolaan dan sumber daya manusianya. Para ekonom dan pengamat keuangan mempertanyakan sejauh mana transparansi dan akuntabilitas akan dijaga, mengingat rekam jejak pengelolaan aset negara di Indonesia tidak selalu gemilang. Kekhawatiran muncul bahwa Danantara bisa menjadi instrumen investasi yang tidak independen, mudah dipolitisasi, dan rentan terhadap kepentingan kelompok tertentu.
Lebih jauh, penunjukan orang-orang dalam manajemen Danantara juga menjadi topik perdebatan panas. Nama-nama yang menduduki posisi kunci, sebagian besar datang dari lingkaran yang sudah lama dikenal dalam jaringan elite bisnis dan politik. Banyak di antara mereka adalah profesional yang berpengalaman, tetapi skeptisisme tetap mengemuka: apakah mereka benar-benar bekerja untuk kepentingan nasional, atau sekadar melanggengkan jaringan kekuasaan yang telah lama eksis?
Aspek lain yang menjadi sorotan adalah sejauh mana Danantara dapat benar-benar menarik investasi global. Investor asing, terutama mereka yang datang dari pasar keuangan yang lebih matang, sangat sensitif terhadap isu tata kelola dan stabilitas regulasi. Jika Danantara tidak mampu menunjukkan transparansi, tata kelola yang solid, serta kebebasan dari campur tangan politik, skeptisisme investor dapat berubah menjadi penolakan.
Kendati kritik bertubi-tubi, bukan berarti Danantara tidak memiliki potensi untuk sukses. Jika dikelola dengan benar, SWF ini bisa menjadi pilar penting bagi perekonomian Indonesia dalam beberapa dekade ke depan. Dengan pengelolaan yang disiplin dan pengawasan yang ketat, Danantara berpeluang menjadi instrumen investasi yang efektif, tidak hanya dalam menarik modal asing tetapi juga dalam mengoptimalkan aset-aset negara yang selama ini kurang produktif.
Namun, semua itu kembali pada pertanyaan mendasar: apakah Danantara akan dikelola dengan prinsip-prinsip terbaik dari sovereign wealth fund global? Ataukah ia akan terperosok dalam perangkap klasik birokrasi dan kepentingan pribadi?
Sebagai proyek yang masih berada di tahap awal, Danantara masih memiliki ruang untuk memperbaiki diri. Dengan pengawasan publik yang ketat, reformasi struktural yang terus didorong, serta komitmen penuh terhadap transparansi, bukan tidak mungkin SWF ini bisa menjadi kebanggaan nasional. Namun, tanpa disiplin dan tata kelola yang baik, ia bisa saja menjadi beban baru bagi negara.
Sementara masa depan Danantara masih menjadi tanda tanya, satu hal yang pasti: ia akan terus menjadi pusat perdebatan, dipuji dan dicela, hingga akhirnya membuktikan dirinya—entah sebagai kesuksesan besar atau sekadar mimpi yang gagal diwujudkan.