Kebangkitan Bisnis PT Dirgantara Indonesia Setelah Sempat Dihantam Badai

bintangbisnis

  

 




Setelah bertahun-tahun didera masalah berat hingga nyaris ambruk, pabrikan pesawat ini perlahan-lahan bangkit. Pengelolanya berjibaku menyelamatkan perusahaan pelat merah itu dari ancarnan kebangkrutan. Berbagai upaya revitalisasi bisnis dilakukan dengan melibatkan berbagai stakeholder. Hasilnya sejumlah kontrak pekerjaan dari dalam dan Iuar negeri berhasil didapat. Termasuk pekerjaan untuk pembuatan pesawat dan komponen, sehingga pendapatan perusahaan pun mulai meningkat. Tahun 2012, DI mengantongi pendapatan Rp 3,1 triliun, dengan laba bersih Rp 40 miliar. Ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya yang rapornya lebih banyak berwarna merah. 


Suasana di kompleks pabrik PT
Dirgantara Indonesia (DI) di Jl. Padadjaran 154 Bandung tidak bisa disebut
sepi. Sekitar 1.000 orang berlalu-lalang dengan berjalan kaki dari dalam
pabrik. Saat itu memang jam istirahat makan siang. Di dalam kompleks itu
terdapat ratusan mobil pribadi terparkir. Di gerbang tampak sejumlah mobil
keluar-masuk kompleks. Cat dan eksterior gedung-gedung yang ada di pabrik
pesawat terbang itu memang terlihat sudah tua dan sebagian berwarna agak kusam,
tetapi kesibukan terlihat jelas di sana.




Untuk bertahan bisa hidup, saat itu DI berusaha mengerjakan proyek seadanya.
Khususnya dengan memproduksi berbagai komponen pesawat. Bahkan terpaksa “turun
kelas”: memproduksi berbagai barang industri rumah tangga seperti pembuatan
sendok, garpu, panci, dan sejenisnya, demi menyambung hidup. Maklum, untuk
mendayagunakan fasilitas yang ada, Mereka punya alat moulding untuk
mencetak berbagai jenis produk seperti itu yang sebelumnya dipakai untuk
memproduksi komponen pesawat.


Upaya pembangkitan kembali DI tampak nyata sejak pemerintah menunjuk Budi
Santoso sebagai CEO (Presdir) di tahun 2007. Budi yang lulusan S-1 Teknik Mesin
Institut Teknologi Bandung (1980) dan menyelesaikan program doktoral robotika
di Katholieke Universiteit Leuven, Belgia (1987),sejatinya memang memulai
karier di DI. Namun sejak 1998 ditugasi untuk membenahi BUMN bidang senjara PT
Pindad. 


Langkah Budi masuk akal, Ternyata sepanjang 2003-2007 DI tidak pernah tutup
buku. Belum lagi ada data yang tidak jelas mulai dari pajak belum dihayar,
utang, dan sejenisnya. Karena itu persoalan akunting dia bereskan dulu, dan
tahun 2009 sudah bisa selesai dirapikan. Dia juga mengundang BPK, instansi
pajak, lembaga-lembaga yang terkait untuk mengaudit.

Program mendesak lainnya,
restruk-turisasi utang. “Kami terbebani oleh utang jangka panjang dalam jumlah
besar di masa lalu, sementara itu merupakan utangnya pemerintah karena Dl ini
sekadar menjalankan program pemerintah untuk mengembangkan pesawat N250. Tapi
kami yang harus menanggung dan itu membuat neraca keuangan kami selalu negatif
dan tidak menarik bagi bank untuk mendanai kami, ”papar Budi yang kelahiran
Jember, Jawa Timur18 Juni 1955.



Yang juga menarik, dari sisi fokus bisnis yang digarap. Budi berusaha realistis
dengan menempuh strategi yang berbeda dari era lampau. “Fokus kami, bagaimana
bisa bangkit dan bertahan hidup dari portofolio produk yang sudah dimiliki dan
pasarnya memang ada, sehingga tidak usah menunggu riset dulu, karena bisa butuh
6 tahun untuk melahirkan sebuah pesawat. Kami bisa sudah keburu mati,” Budi
memberikan alasan. Karena itu, dia fokus membuat produk yang sudah bisa
dihasilkan dengan tambahan update teknologi terbaru. Beberapa pesawat yang
dipilih untuk diproduksi itu misalnya CN-295, NC 212-200, Bell 412 EP.EC 725,
dan AS 365 N3. Di samping itu juga mencari pekerjaan proyek pembuatan komponen
berbagai pesawat. 
 


Pola saat ini memang berbeda dari era awal IPTN. Dulu mengutamakan enjiniring
atau proses rekayasa, sekarang market driven. “Kami tak bisa seperti itu
lagi. Yang bisa kami kerjakan adalah memproduksi (pesawat) lebih bagus,
mendapatkan banyak pesanan, baru enjiniring,” kata Budi. Dia contohkan kontrak
dengan Eurocopter untuk menyediakan pesawat coast guard seperti Super
Puma yang dimodifikasi karena Indonesia waktu itu akan membeli 6 unit. Karena
hanya 6 unit, kalau dirakit (assembling) di DI tentu tidak akan menutup
biayanya. 


Contohnya, kini DI sedang mengembangkan pesawat sendiri, N-219, yang akan difokuskan
untuk memenuhi kebutuhan pesawat perintis di pasar domestik, Pesawat yang
digerakkan dengan baling-baling atau propeler itu cocok untuk menerbangi
kawasan bergunung-gunung dan bercelah seperti di Papua. Saat ini sudah ada
maskapai yang telah menandatangani surat minat untuk membeli 20 pesawat jenis
tersebut. “Tapi masih confidential, kami belum bisa sebutkan sekarang
karena baru akan jalan,” katanya.

Budi tak menampik kenyataan yang diutarakan Riri. Faktor SDM memang menyimpan
bom waktu. DI mengalami problem demografis pekerjanya. “Sekitar 80% karyawan
berusia tua, usia 50 tahun ke atas dan hampir pensiun. Kami sempat cukup lama
tidak merekrut karyawan baru karena kesulitan keuangan,” ungkap Kadiv Kepatuhan
dan Komunikasi DI, Sonny Saleh Ibrahim. Penerimaan pegawai secara massal
dilakukan 1982-1986, puncaknya pada 1984-1985. Maka tak heranlah, banyak
karyawan yang sudah hampir 30 tahun mengabdi, sehingga mendekati usia pensiun.



Setelah sukses membenahi Pindad sebagai Dirut (1998-2007), dia diminta
pemerintah untuk kembali ke DI dan membenahi perusahaan yang baru saja dituntut
pailit oleh mantan karyawannya sendiri.

“Tak mudah membenahi PT Dirgantara, Tapi saya belajar waktu ambil short
course
bidang manajemen keuangan di MIT Amerika, cara paling gampang
melihat sebuah perusahaan bagus atau tidak dilihat akuntingnya, karena itu yang
pertama kami lakukan juga membenahi bidang akunting untuk memudahkan
pengelolaan,” papar Budi menjelaskan Salah satu program yang pertama dilakukan
di DI.



Tak hanya itu, paradigma bisnisnya diubah. Dulu IPTN menghabiskan banyak sumber
daya, termasuk modal, untuk menemukan dan mengembangkan pesawat hasil riset
sendiri. Bahkan untuk memasarkan produk juga dijalankan sendiri. N21 nyatanya
sangat berisiko. Contohnya pesawat N250 yang sudah dikembangkan dengan dana triliunan
rupiah tetapi akhirnya gagal. Karena itu, kini DI lebih memilih kolaborasi
dengan pemain global terkuat yang sudah punya merek agar bisa masuk menjadi
rantai aliansi produksi. Tidak mengapa E21 hanya harus memproduksi komponen
yang penting dalam jumlah besar. Khusunya bekerja sama dengan Airbus atau B223
dua pabrikan yang menguasai pasar pesawat dunia. Saat ini DI lebih dekat dengan
Airbus Group melalui kerja sama dengan induknya, European Aeronautic Defence
and Space Company (EADS).


Manajemen DI akhirnya setuju membuat dan menjual 6 pesawat itu,
tetapi juga meminta supaya diberikan pekerjaan lain. Hal itu disepakati, hingga
akhirnya DI mendapat pekerjaan untuk memproduksi tailboom (bagian ekor)
dan fuselage (badan utama) serta mendapat kontrak hingga 125 pesawat
sampai tahun 2020. 

DI kini tak mau terjebak dalam mencari “kebanggaan” yang sempit. Bisnis akan
diarahkan lebih realistis, apalagi di saat yang sulit. Tak harus semuanya
memasarkan produk 100% karya sendiri, khususnya di ceruk yang di dalamnya sudah
ada pemain kuat nan sulit dikalahkan. Budi melihat, dalam kondisi seperti itu, lebih
menguntungkan berkolaborasi dengan mereka. Bukan berarti DI tak mengembangkan
pesawat sendiri. Mereka akan mengembangkan pesawat untuk niche market
yang pesaingnya minim.


Yang pasti, upaya revitalisasi itu mulai menunjukkan ada hasil. Sepanjang 2012,
DI berhasil mendapatkan kontrak penjualan pesawat sayap tetap dan helikopter,
yang meliputi 9 unit CN-295, satu unit NC 212-200, 25 unit Bell 412 E11, 6 unit
EC 725 dan dua unit AS 365 N3. Tahun 2012, DI berhasil meraih pendapatan Rp 3,1
triliun dan meneken kontrak senilai Rp 9,5 triliun yang akan menjadi pendapatan
tahun-tahun berikutnya. 

Dari sisi struktur SDM, Riri melihat kondisi DI kurang bagus. Dengan banyaknya
karyawan usia tua, strukturnya berbentuk gelas jam pasir di masa lalu, dan itu
menunjukkan bahwa mereka kekurangan tenaga tingkat menengah yang justru menjadi
andalan perusahaan. “DI harus mampu melakukan percepatan pengembangan
kompetensi untuk anak- anak muda yang baru direkrut. Alih kompetensi kepada
anak-anak muda harus segera dilakukan. Semua pihak di DI memang harus berlari,
terutama dua pihak, yaitu direksi dan anak-anak muda itu,” Riri berpesan.




Ya, dalam tiga tahun ini manajemen DI dibawah pimpinan CEO-nya sekarang, Budi
Santoso, memang tengah berjibaku menyelamatkan perusahaan pelat merah itu dari
ancarnan kebangkrutan. Berbagai upaya revitalisasi bisnis dilakukan dengan
melibatkan berbagai stakeholder. Hasilnya sejumlah kontrak pekerjaan
dari dalam dan Iuar negeri untuk pembuatan pesawat dan komponen mulai
digenggam, sehingga pendapatan perusahaan pun mulai meningkat. Tahun 2012, DI
mengantongi pendapatan Rp 3,1 triliun, dengan laba bersih Rp 40 miliar. Ini
berbeda dari tahun-tahun sebelumnya yang rapornya lebih banyak berwarna merah.
Di tahun 2012 pun dliteken kontrak pekerjaan Rp 9,5 triliun yang akan menjadi
pendapatan tahun-tahun berikutnya.


 
Cerita tentang DI adalah balutan tragedi dan ironi. Perusahaan yang dulu
termasuk industri strategis yang hendak dikembangkan pemerintah itu menghadapi
problem multidimensional, tak semata- mata bisnis, tetapi juga terjotos isu
ekonomi politik. Tak heran, perusahaan yang dulu bernama PTIndustri Pesawat
Terbang Nurtanio (IPTN) itu benar-benar nyaris mati. Semasa jayanya, di era
kepemimpinan Prof. B.J. Habibie, IPTN sempat memiliki 16 ribu karyawan, serta
pusat industri yang megah dan luas (83 ha) di Jl. Padjadjaran, Bandung. 

 

Saat itu IPTN menjual sejumlah pesawat seperti tipe CN-235 (kapasitas 35-40
orang), tipe C-212 (kapasitas 19-24 orang), dan berbagai jenis pesawat
helikopter seperti NBO-105, NAS-332 Super Puma, dan NBell-412. Namun krismon
1998 plus gonta-ganti rezim kepemimpinan menjadikan nasib pabrik pesawat ini
kelabu. Tahun 1997, IPTN memperoleh order pembuatan pesawat N-250 dari Iuar
negeri dalam jumlah besar, 120 pesawat, dengan biaya pengerjaan US$ 1,2 miliar.
IPTN sudah telanjur investasi, membeli herbagai mesin dan fasilitas produksi
serta merekrut ribuan orang. Namun tiba tiba terhenti karena krismon.


 
Salah satu yang menjadi pemicu kemerosotan,dalam membantu pemulihan ekonomi
Indonesia, International Monetary Fund mengharuskan Indonesia menandatangani
sejumlah kesepakatan. Salah satunya, tak boleh lagi berdagang pesawat. Bantuan
yang harus diakui, bermuatan politis kental. Beleid itulah yang
merontokkan bisnis IPTN. Sejak itu kinerjanya terus merosot karena pemerintah
tak lagi membantu keuangan. Utang menggelembung. Perusahaan harus mengurangi
jumlah karyawan karena sepi order. Tahun 2003, IPTN yang saat itu sudah berubah
menjadi PT DI mem-PHK-kan 9 ribu lebih karyawan, hingga tinggal terisa 3 ribu
karyawan, kemarau pun datang menimpa. Kemarau yang sangat panjang.


Toh, upaya itu tak banyak membantu karena beban utang yang terlalu parah dan
operasional yang belum membaik. Hal ini ditambah problem internal seperti demo
karyawan yang berkepanjangan. Bahkan tahun 2007, DI dituntut dan dipailitkan
oleh mantan karyawannya sendiri soal pesangon dan memang diputuskan pailit
alias bangkrut. Beruntung pemerintahan Presiden SBY kemudian berusaha
menyelamatkan aset kebanggaan Indonesia itu.

Singkatnya, DI waktu itu benar-benar di ambang
kolaps. Komplikasi berbagai persoalan seperti utilisasi pabrik yang rendah
(hanya 6 unit pesawat per tahun), beban utang, neraca ekuitas negatif tak mampu
men-deliver produk ke pelanggan secara on time, hingga arus kas
yang defisit. Tahun 2010 misalnya, pernah beberapa bulan gaji karyawan sempat hanya
dibayar separuh dan Direksi bahkan beberapa bulan tak di gaji (statusnya
perusahaan berutang pada merek). Bayangkan,DI juga memiliki 800-an ahli rancang
pesawat yang waktu itu menganggur (tidak ada pekerjaan) tetapi tetap harus
digaji tinggi.


Untuk itu, tim manajemen DI di bawah pimpinan Budi meyakinkan ke pemerintah
agar mengubah utang jangka panjang di masa lalu itu menjadi penyertaan saham
(ekuitas) atau biasa disebut Penyertaan Modal Negara (PMN). Tidak mudah
meyakinkan pemerintah, termasuk DPR agar melakukan debt to equity swap
ini. Namun dengan upaya yang spartan demi menyelamatkan perusahaan akhirnya
pemerintah bisa mengerti dan mengabulkannya, sehingga tahun 2011 utang jangka
panjang warisan masa lalu itu diubah (swap) menjadi ekuitas. Nilainya
cukup besar,sekitar Rp 3,8 triliun. “Ini hanya perubahan di atas kertas laporan
keuangan karena kami tidak menerima uang dengan langkah swap itu,” Budi
menjelaskan.


 
Meski hanya perubahan di atas kertas, bagi DI langkah itu sangat panting dan
berpengaruh besar. Antara lain, ekuitas perusahaan menjadi positif (waktu itu
Rp 617 miliar), jumlah kewajiban yang harus dibayar menurun hingga rasio
kewajiban terhadap modal menjadi lebih sehat. Lalu, karena neracanya
membaik,pada gilirannya kalangan perbankan dan pemasok jadi lebih percaya.
Juga, dengan ekuitas yang membaik, DI lebih fleksibel untuk mengikuti berbagai
tender dan penawaran pembuatan pesawat balk dari dalam maupun luar negeri.


 

 Dari sisi keuangan, upaya yang dilakukan tak sebatas itu. Manajemen DI juga
meminta pemerintah mengucurkan penambahan modal kerja ke perusahaan. Maklum,
ketiadaan modal kerja ini yang membuat DI jalan di tempat. Beberapa tawaran dan
peluang proyek pengerjaan tak diambil karena tidak ada modal kerja. Uang
sedikit harus dipakai untuk semua kehutuhan, termasuk membiayai 4.000-an
pekerja yang ada. Permintaan modal kerja tambahan itu dikabulkan Presiden SBY
dengan menerbitkan PP dan memutuskan mengalokasikan Rp 1 iriliun dalam bentuk
PMN untuk modal kerja. Kucuran dana itu yang digunakan untuk melakukan
revitalisasi bisnis, seperti peremajaan dan pembelian fasilitas permesinan,
rekrutmen dan redisposisi surnber daya manusia, modernisasi sistem teknologi
informasi, proses perampingan bisnis, dan pengembanganproduk pesawat terbang
agar tetap kompetitif di pasar.


 

Dalam hal ini, pihaknya berusaha lebih berorientasi pasar, bukan semata- mata
karena menguasai teknologi dan bisa memproduksi. “Tanpa menghilangkan rasa
hormat kepada para pendahulu, kami harus belajar dari kegagalan masa
Ialu,” ujar Budi. Sewaktu masih bernama IPTN dulu, perusahaan mengembangkan
banyak produk pesawat meski dari sisi bisnis tidak ekonomis. Sebagian besar
orang-orang DI dulu adalah enjinir yang kebanyakan berpikir kalau teknologi
bagus pasti bisnis bisa jalan. Ternyata hal itu tidak cukup karena penguasaan
pasar kurang dipelajari. Sasaran jualannya waktu itu lebih banyak ke
pemerintah, baik dalam maupun luar negeri. Sementara Budi melihat pesawat
penumpang justru menghasilkan arus kas lebih banyak bagi perusahaan
penerbangan.


DI telah menjalin kerja sama dengan EADS dan anak usahanya seperti Eurocopter,
dan Eurofighter, untuk memproduksi helikopter dan pesawat, termasuk komponennya
dalam jangka panjang. Kerjasama itu untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan
keperluan negara lain. Contohnya, saat ini produksi pesawat NC 212-400
seluruhnya sudah dipindahkan oleh Airbus Military dari lokasi awalnya di Sain
Pablo, Spanyol ke pabrik DI di Bandung. DI juga dipercaya untuk memproduksi dan
mengelola pasar Asia Pasifik bagi pesawat Airbus Military jenis CN-235, CN-295
dan NC 212.


 
Pendek kata, kini DI telah menjadi salah satu pemasok utama Airbus. Salah satu
alasan menggandeng Airbus adalah agar persepsi pasar terhadap DI membaik.
Selain belajar dari Airbus tentang membuat pesawat dan administrasi, DI juga
membuat komponen pesawat komersial, yakni komponen sayap A320 dan A380. Kontrak
A380 selama 10 tahun, sedangkan A320 telah diperpanjang kontraknya pada 2009
menjadi lifetime contract. Tiap tahun DI mengirim ribuan komponen ke
Airbus. “Kalau ada yang bilang kami menganggur, itu salah. Saat ini, DI 2-3
kali lebih produktif. Kapasitas produksi kami sudah full,” kata Budi.



Kerjasama yang dikembangkan tak hanya dengan kalangan bisnis (B2B) tetapi juga
dengan pemerintah. DI misalnya menjalin kerja sama dengan Kementerian
Pertahanan RI untuk menjual beberapa pesawat militer ke negara mitranya. Contoh
yang sukses dipasarkan bersama Kemenhan antara lain pesawat CN-235 versi
Maritime Patrol Aircraft yang dipesan Korea Selatan. Kor-Sel saat ini menjadi
pengguna CN-235 paling banyak yakni 12 unit, termasuk untuk versi patroli
maritim. Model aliansi inilah yang akan banyak dikembangkan.


Pendapatan Rp3,1 triliun itu sebagian besar dari penjualan pesawat CN-235,
CN-295, NC212 dan helikopter yang mencapai Rp 2,65. Lalu dari pembuatan
komponen pesawat Rp 200 miliar, perawatan pesawat Rp 170 miliar dan pembuatan
torpedo/roket Rp 80 miliar. Tahun 2012, laba bersih DI dikabarkan sudah positif
Rp 40 miliar. Di tahun 2013 dan 2014, ditargetkan minimum akan memperoleh
pendapatan Rp 3 triliun dari kontrak yang diteken tahun 2012. Ini belum
termasuk proyek lain yang kini sedang difinalisasi. 



Riri Satria, pakar manajemen dari
Universitas Indonesia yang juga CEO Value Alignment Advisory, melihat DI
sebagai aset bangsa karena teknologi dan kompetensi manusianya. “Saya termasuk
yang sangat setuju tentang membangkitkan kembali PT DI, tetapi tentu saja
dengan berbagai syarat,” ujar Riri. Dia melihat apa yang dilakukan DI berkaitan
dengan strategi hisnis sudah tepat. “Ada strategi jangka pendek untuk
penyelamatan berkaitan dengan aspek finansial dan produksi seperti dengan
membuat komponen. Dan ada strategi jangka panjang yang berkaitan dengan corporate
sustainability
di masa depan,” katanya. Aliansinya dengan Airbus juga bagus
untuk mengangkat ekuitas merek DI.


Tak hanya itu, dia juga menggarisbawahi agar strategi pembenahan internal
diselesaikan tuntas, Misalnya, persoalan struktur finansial, eksodus tenaga
kerja, dan kualitas praktik manajemen. “Kekhawatiran saya, perkembangan
kemampuan strategi manajemen dan bisnis di sana masih tertinggal dibanding
kemampuan pengembangan teknologi,” kata Riri. Pada masa lalu dia melihat
insinyur-insinyur andal di sana terlalu arogan dan tidak banyak melibatkan ahli
ekonomi, strategi bisnis dan manajemen sehingga DI mengalami masalah, “Saya
menaruh hormat yang tinggi kepada Pak Habibie berkaitan idealisme industri
dirgantara di Indonesia, tetapi memang pada implementasinya, engineers can’t
do everything. It should collaborate with high skill managers, business
strategist, and economist
,” pesan Riri serius.

Kenyataan itu jelas menjadi problem ke depan karena bila tidak ada
keberlanjutan kompetensi SDM, DI tidak mungkin membuat kontrak jangka panjang
pembuatan pesawat. Tak heran, sejak 2011 mereka merekrut pegawai baru secara
bertahap. Adapun mereka yang memasuki masa pensiun, ada 1-2 orang yang
dipertahankan sebagai pelatih enjinir baru. Maklum, untuk mendidik enjinir
tidak cukup dengan mengambil sarjana universitas, mereka butuh pengalaman
membuat pesawat. Program penerimaan pegawai baru ini terus akan dilakukan
hingga 2O14. Dalam dua tahun ini sudah sekitar 900 karyawan baru yang direkrut.
Kini total karyawan sudah sekitar 4.200 orang.

Selain persoalan demografis,
menurut Budi, di bidang SDM, tantangan paling utama ialah membangun budaya
perusahaan. “Kami terus membangun budaya kerja keras. Dulu mungkin masih banyak
yang beranggapan bahwa apa pun yang terjadi DI akan diselamatkan oleh
pemerintah. Kini karyawan semakins adar, kalau perusahaan tidak kerja keras dan
tidak ada pekerjaan, mereka juga akan susah,” ujar Budi. Karyawan sudah
merasakan hanya dibayar separuh gaji di tahun 2010. Hanya saja, membangun
budaya memang tak mudah. Apalagi sebagian besar karyawan sudah usia menjelang
pensiun yang tentu saja lebih sulit untuk berubah.


 
Kendati persoalan tetap menghadap, Budi yakin masa depan DI akan semakin
membaik seiring pekerjaan yang makin banyak berdatangan. Perusahaannya akan
tetap fokus pada pengembangan bisnis yang menghasilkan, bukan semata-mata
membanggakan. Dari sisi kemampuan SDM, Budi sama sekali tak pernah meragukan
SDM-nya, apalagi di bidang enjiniring pesawat. SDM Indonesia dikenal di dunia
sebagai jago aeronautika. Generasi muda di Eropa misalnya, kini cenderung malas
belajar aeronautika karena lebih tertarik entertainment dan gaya hidup.
Bagi Budi, hal itu menjadi peluang perusahaannya untuk berkompetisi. Peluang
untuk benar-benar menghapus kemarau panjang. 



 



 

Penting Dibaca :

Share This Article