Pernyataan resmi Gedung Putih pada 2 April 2025 menjadi momen yang memicu gelombang kegelisahan di dunia perdagangan internasional. Presiden Donald J. Trump, dalam gaya khasnya yang penuh kejutan, mengumumkan tarif impor baru yang akan dikenakan terhadap sejumlah negara mitra dagang Amerika Serikat. Tarif tersebut berkisar antara 20 hingga 40 persen, tergantung pada jenis barang dan negara asal. Indonesia, misalnya, dikenai tarif sebesar 32 persen. Tidak lama berselang, negara-negara besar lain menyusul nasib serupa. Kali ini, dunia tidak tinggal diam.
Kebijakan yang disebut banyak analis sebagai “tarif gila-gilaan” ini, menandai eskalasi baru dalam konflik dagang global. Sepuluh negara, masing-masing dengan kekuatan ekonomi dan politik yang signifikan, merespons kebijakan ini dengan nada keras, ancaman balasan, dan langkah konkret di forum internasional. Berikut adalah sepuluh reaksi pemimpin dunia yang menggambarkan bagaimana dunia bersatu dalam ketegangan dagang terbaru yang diluncurkan dari Washington.
- China: Dari Sikap Diplomatis ke Perlawanan Sistemik
Presiden Xi Jinping, dalam pidato resmi di Beijing sehari setelah pengumuman Trump, menyatakan bahwa China tidak menginginkan perang dagang, tapi tidak akan mundur jika harus menjalaninya. Beijing dengan cepat mengumumkan balasan: tarif balasan sebesar 35% untuk produk pertanian Amerika dan pembekuan kontrak pembelian pesawat Boeing. Selain itu, pemerintah China meluncurkan inisiatif percepatan kerja sama perdagangan dengan Uni Eropa dan ASEAN, sebagai bentuk pivot dari dominasi ekonomi AS.

“Kami akan melindungi hak ekonomi kami dengan segala cara,” tegas Xi.
- Prancis: Macron Menyulut Simpati Eropa
Presiden Emmanuel Macron tidak membuang waktu untuk menyatakan sikap. Dalam pertemuan Dewan Menteri di Paris, Macron menegaskan bahwa Uni Eropa harus bersatu dalam menghadapi unilateralisme ekonomi Amerika Serikat. Prancis sendiri langsung memberlakukan tarif 30% terhadap produk digital dan energi asal AS, serta menghentikan sementara pembelian senjata dari perusahaan-perusahaan pertahanan AS.
“Eropa bukan anak kecil yang bisa ditekan dengan tarif,” ujar Macron dengan tajam.
- Jerman: Ekonomi Tertib, Amarah Terstruktur
Kanselir Jerman, Annalena Baerbock, dengan tenang namun tegas menyebut tarif Trump sebagai “pelanggaran prinsip multilateralisme.” Jerman menanggapi dengan dua langkah: diplomasi di WTO dan penguatan aliansi ekonomi dengan negara-negara BRICS. Pemerintah juga mulai menjajaki perjanjian perdagangan bilateral baru dengan Jepang dan Kanada.
“Kami tidak akan membiarkan aturan dagang ditulis ulang oleh satu negara semata,” ujarnya dalam konferensi pers di Berlin.
- Jepang: Diplomasi Tenang, Gerakan Cepat
Perdana Menteri Jepang, Fumio Kishida, memilih pendekatan yang lebih tertata. Ia menyatakan Jepang sangat kecewa, namun masih membuka ruang dialog. Namun, di belakang layar, Jepang segera memfasilitasi kerja sama ekspor-impor baru dengan Australia dan India untuk meminimalisir ketergantungan pada pasar Amerika.
“Kita butuh dunia yang stabil, bukan ketakutan akan tarif baru tiap kuartal,” kata Kishida.
- Rusia: Retorika dan Strategi Energi
Presiden Vladimir Putin memanfaatkan momentum untuk memperluas pengaruh Rusia. Ia mengecam kebijakan tarif Trump sebagai “imperialisme ekonomi” dan menyebut Rusia siap membuka jalur perdagangan baru yang bebas dari dominasi dolar. Rusia juga mengumumkan diskon energi untuk mitra dagangnya di Asia dan Timur Tengah, sebagai bentuk stimulus politik.
“Amerika bisa memainkan ekonomi, kami bisa memainkan energi,” sindir Putin.
- Saudi Arabia: OPEC sebagai Senjata Balas Dendam
Putra Mahkota Mohammed bin Salman menggelar rapat darurat dengan anggota OPEC dan mengancam akan mengurangi suplai minyak ke pasar global sebagai bentuk tekanan terhadap Washington. Arab Saudi juga menunda pembicaraan investasi besar di sektor teknologi dengan beberapa perusahaan Amerika.
“Energi adalah alat diplomasi kami, dan kami akan menggunakannya sesuai kebutuhan,” ujarnya.
- Turki: Erdogan Siap Konfrontasi
Presiden Recep Tayyip Erdogan tidak ragu menyebut Trump sebagai ancaman bagi stabilitas global. Turki segera memberlakukan tarif balasan sebesar 40% untuk produk otomotif dan elektronik asal AS. Erdogan juga menyarankan negara-negara berkembang untuk mulai membentuk blok perdagangan alternatif yang tidak bergantung pada Amerika.
“Trump membuat dunia harus memikirkan ulang ketergantungan mereka,” kata Erdogan.
- Malaysia: Diplomasi ASEAN dan Perlawanan Regional
Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, mengambil pendekatan kolektif. Ia menyerukan pertemuan darurat ASEAN untuk merumuskan sikap bersama terhadap kebijakan perdagangan AS. Malaysia juga menunda proyek infrastruktur yang semula dirancang bersama perusahaan Amerika.
“Asia Tenggara bukan anak tangga dalam tangga ekonomi global Amerika,” tegas Anwar.
- Brasil: Latin Amerika Bersatu
Presiden Luiz InĂ¡cio Lula da Silva memanfaatkan momen ini untuk membangkitkan semangat solidaritas regional di Amerika Selatan. Brasil menyuarakan dukungan untuk penguatan Mercosur dan menolak kesepakatan dagang bilateral dengan AS hingga kebijakan tarif ditinjau ulang.
“Trump sedang membangun tembok ekonomi. Kami akan membangun jembatan baru antar negara selatan,” ujarnya.
- India: Antara Oportunis dan Strategis
Perdana Menteri Narendra Modi memilih narasi yang lebih netral, tapi dalam praktiknya India mempercepat negosiasi dagang dengan negara-negara yang terdampak tarif AS. Modi melihat peluang untuk menjadikan India sebagai alternatif rantai pasok global.
“Krisis bagi satu negara adalah peluang bagi yang lain,” katanya.
Dunia Tidak Lagi Diam
Tak salah, tarif bukan hanya persoalan ekonomi, tapi simbol kekuasaan. Dan kali ini, kekuasaan itu ditantang. Sepuluh pemimpin dunia yang selama ini kadang berseberangan, kini tampak senada dalam menghadapi kebijakan tarif terbaru Presiden Trump. Mereka tidak lagi menunggu belas kasih Washington, melainkan membangun blok-blok resistensi baru.
Dalam dunia yang semakin multipolar, langkah-langkah balasan ini mungkin bukan hanya strategi sementara. Mereka bisa menjadi titik balik dari dominasi ekonomi tunggal Amerika, dan mengarah pada tatanan perdagangan global baru.
Jika sejarah perdagangan internasional adalah panggung drama geopolitik, maka babak ini akan dikenang sebagai saat ketika dunia memutuskan untuk menjawab Trump. Bukan hanya dengan kata-kata, tapi dengan tindakan nyata yang mengguncang meja perundingan global. (ED)